Friday, February 01, 2008

Living with a volcano

*Disusun oleh Hetty dan Lia

Pertengahan November ini, selama seminggu kami berkesempatan mengunjungi kota Shimabara, yang masuk dalam wilayah Nagasaki-ken. Tujuan kami ke Shimabara ini dalam rangka menghadiri konferensi gunungapi internasional yang bertajuk “Cities on Volcanoes 5”. Mulai dari ilmu sains-nya, kemudian manajemen mitigasi bencana letusannya, sosial-ekonomi, hingga sisi edukasinya, dikupas habis dalam pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 600 ahli gunungapi seluruh dunia.

Mengikuti jalannya pertemuan ini, dari presentasi-presentasi, baik oral maupun poster, memberikan banyak pengetahuan baru bagi kami. Sejujurnya, melihat riset-riset yang dilakukan oleh ahli-ahli tersebut, yang begitu beragam dan tentu saja dengan dukungan dari instansi yang terkait, pemerintah, universitas, serta dukungan dana dan fasilitas riset yang bisa dibilang jauh dari jangkauan kami, sanggup menimbulkan kekaguman kami.

Kembali membicarakan Shimabara, para ahli gungungapi akan langsung tertuju pada daerah yang pernah luluh-lantak dihantam rentetan awan panas/pyroclastic flow1) dan lahar2), muntahan dari Gunungapi Unzen selama kurun waktu 1990-1995. Dalam periode tersebut, empat puluh empat orang pun menjadi korbannya.

Dalam tulisan ini, kami mengajak Anda untuk mengenal Gunungapi Unzen dan aktifitasnya, bagaimana kronologis letusan Gunungapi. Unzen 1990-1995. Kemudian kita lihat bagaimana program rekonstruksi Shimabara. Tak kalah pentingnya, bagaimana masyarakat Shimabara berkaca dari peristiwa yang terjadi di Shimabara 11-16 tahun lalu. Harapan kami dari tulisan ini adalah adanya pelajaran yang bisa kami (dan mudah-mudahan Anda semua) petik dalam usaha meningkatkan kewaspadaan kita semua, ketika bencana baik itu letusan gunungapi, gempabumi, tsunami atau bencana alam lainnya datang.

1. GUNUNGAPI UNZEN

Terletak di Shimabara Peninsula, memiliki 4 puncak vulkanik yakni Nodake, Myokendake, Mayuyama dan Fugendake. Tiga periode utama letusan gunungapi yang tercatat dalam sejarah, pertama terjadi pada tahun 1663 ketika lava mengalir di lereng timurlaut Fugendake diikuti runtuhnya batas kawah Kujukushima yang menewaskan 30 orang. Kedua letusan tahun 1792 ketika letusan freatik3) dari Fugendake, dilanjut dengan runtuhnya kubah lava di puncak Mayuyama yang mengakibatkan tsunami dan lebih dari 15 ribu orang tewas. Dan ini merupakan bencana gunungapi terburuk dalam sejarah Jepang.

Aktifitas vulkanik pada periode ketiga terjadi pada tahun 1990 hingga 1995 yang menewaskan 44 orang (termasuk 3 orang yang dinyatakan hilang).

2. BENCANA LETUSAN 1990-1995

Peningkatan aktifitas vulkanik diawali dengan munculnya rentetan letusan freatik dari kawah Jigokuato dan Kujukushima pada 17 November 1990, diikuti dengan letusan freato-magmatik4) bulan Pebruari tahun berikutnya. Tanggal 20 Mei, kubah lava terbentuk di puncak, tumbuh melebar hingga pinggir kawah Fugendake, dan kemudian runtuh ke arah lereng timur memasuki sungai Mizunashi.

Runtuhan kubah lava pada 24 Mei, memicu rentetan awanpanas yang pertama, dimana salah satu kejadian awanpanas melukai 1 orang 2 hari kemudian. Sebagai respon, pemerintah setempat mengevakuasi penduduk di 5 daerah.

Tanggal 3 Juni, awanpanas, yang terjadi akibat runtuhnya kubah lava, menghantam wilayah Kamikoba dan menewaskan 43 jiwa.

Awanpanas dan guguran lava yang terjadi berkali-kali, akhirnya berhenti pada bulan Pebruari 1995.

3. REKONTRUKSI & GAMADASU PLAN

Rancangan rekonstruksi Shimabara yang diluncurkan pemerintah daerah Shimabara dimulai pada bulan Maret 1993, kala itu letusan G. Unzen pun masih terus berlanjut. Blue-print rekonstruksi mengalami revisi dan selesai pada Maret 1995.

Maret 1997 diluncurkan Gamadasu Plan, rancangan rekonstruksi yang disusun oleh perwakilan dari badan-badan pemerintah pusat, kelompok-kelompok sipil, pemerintah daerah dan para ahli yang terkait. Gamadasu yang merupakan kata dalam dialek Shimabara, memiliki arti “persevering through difficulties” atau “to make best efforts”.

Dalam program ini dijabarkan 335 proyek rekonstruksi, antara lain meliputi pembangunan perumahan sementara bagi pengungsi, rehabilitasi rumah-rumah dan sawah-ladang yang rusak, penghijauan kembali hutan-hutan yang rusak, serta pemberdayaan sisa-sisa runtuhan bangunan akibat letusan Gunungapi Unzen sebagai tempat wisata. Program rekonstruksi ini diambil alih oleh Pemerintah daerah Nagasaki Prefecture.

Salah satu proyek besar dalam Gamadasu Plan adalah menaikkan ketinggian wilayah segitiga Annaka. Daerah ini letaknya di hilir sungai Mizunashi, yang hancur akibat terjangan debris flow5) yang sering terjadi. Penduduk wilayah Annaka yang sangat perhatian dengan kemungkinan hancurnya wilayah tersebut, mengusulkan menaikkan ketinggian wilayah tersebut. Konsekuensi dengan dilakukannya proyek ini adalah penghancuran rumah-rumah yang tersisa, dan tentu saja pembangunan beberapa fasilitas pengontrol erosi sangatlah penting. Wilayah ini pun dinaikkan sekitar 6 m dengan menggunakan sedimen bawaan debris flow dan tanah-tanah dari sisa pekerjaan rekontruksi lainnya. Proyek dilanjutkan dengan pembangunan rumah-rumah, pengaturan kembali tanah untuk sawah-ladang serta pembangunan infrastruktur lainnya.

4. MENGHARGAI HIDUP

Mencegah tragedi yang meminta korban jiwa 44 orang ini terulang kembali, pemerintah daerah kota Shimabara membuat peta bahaya yang bertujuan meningkatkan kewaspadaan akan bahaya Gunungapi Unzen dan menkonsilidasikan sistem manajemen darurat. Setiap informasi bahaya disebarkan melalui sistem radio, dimana di setiap rumah dipasang alat penerima.

Kemampuan pencegahan bencana ke seluruh kota semakin ditingkatkan dengan pengembangan observasi gunungapi dan sistem pengukuran di Japan Meteorological Agency (JMA) dan beberapa tempat lainnya, dengan pemantauan 24 jam melalui CATV memanfaatkan sistem pemantauan bencana di kantor Unzen Restoration, Ministry of Land, Infrastructure and Transport. Selain itu pula usaha pencegahan bahaya pun dilakukan pada pekerjaan konstruksi seperti pada bangunan dam SABO dan dalam area bencana dimana semua peralatan dikendalikan dari jarak jauh.

Kami pun melihat bagaimana masyarakat Shimabara dilibatkan dalam usaha peningkatan kewaspadaan akan bencana letusan Gunungapi Unzen. Tua - muda, laki-laki - perempuan, semua perhatian dengan Gunungapi Unzen serta bahaya letusannya.

Pada satu kesempatan dalam ruang konferensi, 1 grup anak-anak mempresentasikan bagaimana letusan gunungapi itu terjadi. Pada sesi tanya jawab, mereka menjawab pertanyaan yang bukan saja yang dilontarkan oleh orang Jepang tetapi juga beberapa ahli gunungapi dunia. Walau jawaban-jawaban tersebut menunjukkan kepolosan anak-anak, tapi mendapat apresiasi dari pendengar, karena memperlihatkan keperdulian mereka akan aktifitas gunungapi.

Di kesempatan lain, saat kami berkunjung ke sebuah SD yang merupakan SD pindahan dari SD yg hancur diterjang awanpanas, murid-murid kelas 4 mempresentasikan bagaimana mereka hidup bersama gunungapi. Mereka gambarkan bagaimana bangkitnya Fugendake, kemudian kemunculan kubah lava, dilanjutkan dengan munculnya awanpanas dan debris flow. Mereka pun bercerita bagaimana suasana saat letusan itu terjadi, bagaimana perasaan mereka yang kehilangan orangtua, sanak saudara, dan harta benda. Penutup presentasi, proses kebangkitan, rekonstruksi, persiapan menghadapi bencana, dan harapan-harapan mereka bagaimana hidup harmoni bersama dengan Gunungapi Unzen, dengan lancar mereka paparkan.

5. PETIKAN PELAJARAN

Membandingkan dengan yang terjadi di tanah air, sepertinya pengetahuan tentang kebencanaan perlu diberikan sejak usia dini. Penyampaian yang sederhana ditunjang dengan alat-alat peraga, tentunya akan semakin menarik minat mereka dan mempermudah penyampaian tersebut. Selain itu pula, melihat penduduk Indonesia yang tinggal berdekatan dengan gunungapi pada umumnya merupakan petani, sehingga penyampaian dengan bahasa sederhana (melepas atribut bahasa sains) mengenai bencana alam tentunya perlu dilakukan. Penyampaian informasi yang berkesinambungan, diharapkan pula semakin meningkatkan kewaspadaan.

Keterlibatan masyarakat sekitar gunungapi dalam sistem pencegahan bencana juga sangatlah diperlukan. Misalnya seperti latihan evakuasi yang sering dilakukan oleh masyarakat Jepang untuk menghadapi bencana gempabumi, tsunami6), letusan gunungapi ataupun bencana alam lainnya. Contoh di atas sudah dilakukan oleh penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Merapi. Selain itu, daerah yang masuk zona rawan letusan/awanpanas Gunung Merapi dilengkapi dengan sirene. Saat awanpanas terjadi, sirene akan berbunyi, dan masyarakat akan segera mengungsi ke daerah-daerah yang lebih aman.

Mengenal alam sekitar kita, bisa mendekatkan diri kita dengan alam dan hidup harmoni bersamanya. Belajar dari alam sekitar, kita akan belajar betapa rawannya negara kita dari bencana alam, dan hal ini diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan kita semua. Dan saat bencana alam itu terjadi, kita tahu apa harus dilakukan tanpa menimbulkan kepanikan yang berlebihan.

6. PENUTUP

Mengakhiri tulisan ini, dibawah ini adalah syair sebuah lagu, yang mengkisahkan 2 pohon "Maidenhair" di SD Onokoba yang terbakar akibat awanpanas, akan tetapi saat musim semi berikutnya daun-daunnya bermunculan kembali. Kedua pohon ini menjadi simbol kegembiraan dan kekuatan hidup masyarakat Shimabara.

You survive – A ginko tree in the school yard

A ginko tree at the corner of the school yard survived after a long winter

The tree enjoyed the warm sunshine in spring and pushed out new sprouts

You survived

We want to look straight ahead and keep walking like you

The voices of birds that disappeared in the buried mountain came with the spring wind into this town

You survived

We want to look straight ahead and keep walking like you


Klik di sini untuk mengunjungi situs daerah wisata di Shimabara.


Penjelasan:

1. Awanpanas: aliran material vulkanik (percampuran antara fragment batuan yang panas, gas panas serta air yang terperangkap) menyerupai bentuk awan, yang bergerak turbulen dengan kecepatan tinggi.

2. Lahar: aliran cepat percampuran antara debris batuan dan air, yang berasal dari lereng gunungapi.

3. Letusan freatik: letusan yang terjadi ketika air di bawah atau di permukaan terpanasi oleh magma, lava atau batuan panas gunungapi.

4. Letusan freato-magmatik: letusan yang merupakan hasil interaksi/kontak air di bawah atau di permukaan tanah dengan magma.

5. Debris flow: pergerakan cepat longsoran material (bisa berhubungan dengan aliran lumpur atau luncuran lumpur atau lahar atau longsoran debris).

6. Tsunami: gelombang kereta atau rangkaian gelombang air, yang disebabkan air (misal air laut) yang berpindah cepat, karena terjadinya gempabumi, letusan gunungapi, letusan bawah laut, landslide, atau tubrukan benda kosmis seperti meteor.

Referensi:

Ø Unzen-Fugendake Eruption Executive Summary 1990-1995, Unzen Restoration Project Office, Kyushu Regional Construction Bureau, Ministry of Land, Infrastructure and Transport, November 2007.

Ø Intra meeting Excursion, Unzen Eruption – Disaster and Recovery, COV5 Organizing Committee, Guide book, November 2007.

Ø The Unzen Eruption – Reconstruction and Lessons Learned from the Disaster, COV5 Organizing Committee, November 2007.

Ø Website Volcano Hazard Program, USGS, http://volcanoes.usgs.gov/

Ø Website Earth and Space Sciences, University of Washington, http://geophys.washington.edu/

*penulis adalah mahasiswa program doctoral di Kyoto University, yang saat ini melakukan riset di Sakurajima Volcano Research Center, DPRI-Kyoto University, Kagoshima.


1 Comments:

At 10/10/2011 10:16:00 AM , Anonymous Magang Jepang said...

sama kayak tinggal di lereng merapi heuheuheu

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home